PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK DENGAN TEKNOLOGI TAMAN TANAMAN AIR (Constructed Wetlands)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ketertinggalan di bidang pembangunan sanitasi memicu berbagai permasalahan, diantaranya penurunan kualitas air tanah dan air permukaan, pencemaran udara hingga kesehatan masyarakat yang pada akhirnya menurunkan daya saing bangsa dan negara (Wibisono dan Sukowati, 2010). Perkiraan UNDP tahun 2006, setiap menit lebih dari 3 anak kehilangan nyawa karena penyakit yang berhubungan dengan sanitasi yang buruk (Raude et al., 2009). Sehingga tuntutan akan pengolahan air limbah untuk perbaikan sanitasi semakin meningkat khususnya di Indonesia, sejalan dengan meningkatnya beban pencemaran air permukaan maupun air tanah.
Pencemaran air sungai 60% - 70% berasal dari limbah domestik (Ismuyanto, 2010), dengan kontribusi pencemar di DAS Brantas 60% berasal dari limbah domestik (sanitasi, sampah, detergen); 30% limbah industri; dan 10% limbah pertanian dan peternakan. Oleh karenanya penting untuk memperbaiki sistem sanitasi, salah satunya dengan cara mengolah air limbah sebelum dibuang ke badan air untuk mengurangi beban pencemar air permukaan yang dimanfaatkan sebagai sumber air. Salah satu cara pengolahan air limbah adalah Constructed Wetlands (CWs). Tujuannya adalah untuk memperbaiki kualitas air dan mengurangi efek berbahaya dari limbah, serta menyumbang upaya konservasi air.
1.2 Tujuan
            Mengurangi limbah domestik seperti limbah rumah tangga dengan cara teknologi taman tanaman air.
1.3 Rumusan Masalah
1. Penjelasan tentang pengolahan limbah dengan teknologi taman tanaman air.
2. Proses pembuatan pengolahan limbah.


BAB II
ISI

2.1 Pengertian Constructed Wetlands

Constructed Wetlands adalah salah satu rekayasa sistem pengolah limbah yang  dirancang dan dibangun dengan melibatkan tanaman air, tanah atau media lain, dan kumpulan mikroba terkait (Greg, Young dan Brown, 1998). Constructed Wetlands dirancang dengan perlakuan lebih terkontrol, misalnya dengan pengaturan Hydraulic Retention Time (HRT) dan Hydraulic Loading Rate (HLR) (Vymazal, 2010) untuk mempertimbangkan dimensinya. Dari aspek hidraulika dapat diklasifikasikan menjadi CWs dengan permukaan air bebas (Free Water Surface/FWS) dan CWs aliran di bawah permukaan (Sub Surface Flow/SSF). Berdasarkan pola aliran, CWs dapat diklasifikasikan menurut arah aliran horisontal dan vertikal (Vymazal, 2010). Skema Constructed Wetlends SSF dan ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2.


Berdasarkan jenis tanaman yang digunakan untuk masing-masing tipe CWs dan bagian tanaman yang kontak dengan kolom air ditampilkan dalam Tabel 1.

Dari tipe vegetasi, sebagian besar jenis tanaman sesuai untuk tipe CWs Free Water Surface. Untuk CWs dengan tipe Sub Surface Flow menggunakan vegetasi jenis emergent, dimana hanya bagian akar yang terendam air (Mitchell, Wiese dan Young, 1998). Pada sistim FWS, aliran air berada di atas dasar wetland, dan akar tanaman berada pada lapisan endapan dasar kolom air. Pada sistim SSF, aliran air menembus media berpori seperti kerikil, tempat akar tanaman berada. Dengan memperhatikan kondisi fisik FWS dan SSF, maka FWS lebih tepat dibangun di pinggiran kota, karena memerlukan lahan yang cukup luas sehingga bisa menjadi tempat rekreasi misal tempat pemancingan. Namun hal yang harus dipertimbangkan adalah apakah memungkinkan untuk memelihara ikan pada CWs yang berfungsi sebagai pengolah limbah, khususnya limbah industri. Kondisi fisik CWs dengan sistim SSF yang dapat ditampilkan sebagai taman (Tencer et al., 2009) lebih fleksibel dalam penempatannya, baik sebagai taman di halaman rumah maupun komunal pada satu lingkungan kelompok rumah, bahkan di dalam gedung. Gambar 3 dan 4 menunjukkan penampilan CWs SSF sebagai sebuah taman.
Secara garis besar beberapa kelebihan CWs dengan sistim SSF (Kadlec dan Knight, 1996), adalah:
(1) Konstruksi sederhana, sehingga mudah dalam pembuatannya
(2) fleksibel dalam pemilihan lokasi penempatan (di dalam maupun di luar ruangan)
(3) keleluasaan dalam sistim operasi (misal sistim gravitasi atau menggunakan pompa)
(5) biaya murah, karena jika menggunakan sistem gravitasi  maka pemanfaatan energi dari luar hanyalah sinar matahari
(6) karena limbah tidak kontak  dengan udara luar, maka tidak timbul bau
(7)  kinerja bisa diandalkan
(8) tidak menjadi tempat berkembangnya nyamuk; dan (9) dapat ditampilkan sebagai sebuah taman yang memiliki nilai estetika.
Constructed Wetlands dirancang, direncanakan, dibuat dan dioperasikan untuk memberikan berbagai tujuan. Sesuai dengan filosofi dan pendekatannya, CWs dibuat multi tujuan, misalnya pengolahan limbah, penyediaan keragaman habitat dan satwa liar, mendukung kegiatan rekreasi, penyimpanan air  selama musim kering, dan menambah nilai estetika di lingkungan (Greg, Young dan Brown, 1998; Benyamine, Backstrom dan Sanden, 2004; Knight, Clarke dan Bastian, 2000; Dallas, Scheffe dan Ho, 2005). Fungsi CWs sebagai pengolah limbah bukan hanya mengolah air limbah domestik, tetapi juga limbah industri, limbah rumah sakit maupun limbah pertambangan. Untuk masing- masing fungsi sebagai pengolah limbah, harus dirancang sesuai dengan karakter limbah yang diolah. Sebagai pengolah limbah domestik, maka CWs harus didisain memenuhi fungsi estetika, sehingga bisa ditampilkan sebagai Taman Tanaman Air di lingkungan rumah.

2.2 Media dalam SSF Constructed Wetlands
Untuk meningkatkan kinerja CWs, selain memanfaatkan tanaman air, CWs juga di desain dengan variasi media. Kerikil, dan botol bekas air mineral (pets) juga dapat dimanfaatkan sebagai media tanam (Dallas, Scheffe dan Ho, 2005), demikian pemanfaatan zeolit, arang dsb. Pets dimanfaatkan untuk menambah ruang gerak pada sistim perakaran tanaman (reedbeds). Variasi penggunaan media juga dikembangkan untuk menunjang perkembangan mikroba dan penurunan kandungan bahan pencemar. Media dalam    CWs    sangat    variatif    dan    bisa saling dikombinasikan seperti kerikil, pets, arang, sekam, zeolit dan lain-lain sesuai dengan tujuan penggunaan CWs.
Kombinasi penggunaan media juga dapat meningkatkan kinerja SSF CWs. Penerapan horizontal Sub Surface Flow  CWs untuk mengolah limbah pertanian dengan menggunakan zeolit memberikan hasil penurunan polutan NO3-N (86%), Zn (99.76%), sementara konsentrasi Pb dan Cd pada outflow di bawah batas deteksi (Sarafraz et al., 2009). Gambar 3 menunjukkan bahwa CWs bisa digunakan sebagai pengolah limbah yang sekaligus menambah nilai estetika di dalam bangunan maupun lingkungan perumahan. Dengan pertimbangan tersebut, maka CWs dengan tipe SSF akan lebih dipilih  untuk mengolah limbah domestik terutama di permukiman, karena bisa ditampilkan sebagai taman, dan tidak memberi peluang berkembangnya nyamuk (Kadlec dan Knight, 1996).

2.3 Proses dalam Constructed Wetlands
Dalam menghilangkan atau mengurangi kandungan bahan pencemar, beberapa proses terjadi di dalam CWs. Proses yang terjadi adalah fisik, biologi dan kimia. Mekanisme penurunan polutan disajikan dalam Tabel 3.

Sistem SSF paling sesuai untuk pengolahan primer dari limbah, karena tidak kontak langsung dengan kolom air dan atmosfir. Konsekuensinya tidak ada peluang bagi cacing untuk makan, dan sistem ini aman bagi perspektif kesehatan masyarakat. Oleh karena itu sistim SSF sangat berguna untuk mengolah aliran septic tank atau air bekas setempat. Sistem SSF juga digunakan untuk landfill leachate (lindi pada sistim pengolahan sampah) dan limbah lain yang membutuhkan penghilangan material organik pada konsentrasi tinggi, seperti SS, nitrat, pathogen dan polutan lain. Karena air limbah berada di bawah permukaan, dan rentang dari nisia ekologi lebih kecil. Sistim SSF juga tergantung pada keanekaan spesies yang lebih rendah dari pada sistim FWS. Lingkungan dasar SSF   kebanyakan      dalam   kondisi   anoxic  atau anaerobic.
Ketersediaan oksigen disuplai  ke dalam air limbah oleh akar dari tanaman yang muncul, tetapi oksigen ini digunakan kembali untuk pertumbuhan biofilm langsung pada akar dan rimpang. Oleh karenanya sistim SSF bagus untuk menghilangkan nitrat (denitrifikasi). Proses ini tidak untuk oksidasi amoniak (nitrifikasi), karena selama tersedia oksigen akan membatasi tahapan dalam nitrifikasi. Sehingga jika limbah banyak mengandung amoniak, maka proses penghilangan amoniak yang efektif digunakan adalah dalam kondisi anaerob. Bagaimanapun hal itu efisien dalam menurunkan nilai BOD dan Suspended Solids (SS) (Dallas, Scheffe dan Ho, 2005).
Pada umumnya sistem SSF digunakan untuk waktu yang kontinyu menggunakan aliran horizontal (hSSF). Aliran yang kontinyu seperti wetland tersebut menerima air limbah setiap saat. Hal ini kontras dengan intermittently loaded sistim, dimana penerimaan air limbah secara bergelombang, misal selama 10 menit setiap jam. Sistim aliran vertical SSF  (vSSF)  frekuensinya lebih sering digunakan di Australia, UK dan Eropa. Seringkali sistem vSSF juga digunakan, dimana hasilnya siginifikan dengan oksigenasi biofilm selama hujan (non loading) yang merupakan bagian dari siklus. Masalah yang paling umum terjadi pada sistem hSSF adalah penyumbatan, terutama di sekitar zona pemasukan. Umumnya hal ini terjadi karena perancangan hidraulika  yang kurang, distribusi aliran yang kurang pada inlet dan pilihan kurang tepat  dari  media  berpori, pada sistem secara keseluruhan, atau kombinasi dari berbagai faktor. Namun masalah penyumbatan pada zona inlet bisa diatasi dengan menempatkan kerikil berdiameter besar ± 50 mm di sekitar zona inlet tersebut.

2.4 Kinerja Constructed Wetlands
Kinerja CWs bisa dilihat dari kemampuannya dalam menurunkan kadar pencemar atau parameter pencemar. Beberapa penelitian menunjukkan hasil persentase penurunan polutan misal BOD hingga mencapai 60% - 99.7% (Raude et al., 2009; Weissenbacher dan Mullegger, 2009; Dallas, Scheffe dan Ho, 2005). Keterbatasan CWs dalam meningkatkan kualitas air adalah:
(1) Kecepatan proses: tergantung pada faktor-faktor lingkungan seperti suhu, ketersediaan oksigen, pH, dll.
(2) Keterbatasan hidrologis: hydraulic overload  ketika arus melebihi kapasitas disain menyebabkan waktu retensi terlalu singkat untuk penghapusan polutan secara efektif (Greg, Young dan  Brown,  1998)
(3)  Keterbatasan lingkungan
misal: material organik, nutrisi atau racun, dan kekurangan oksigen; dan

(4) Keterbatasan lahan sehingga dimensi CWs tidak memenuhi waktu tinggal untuk proses penurunan polutan. Perbandingan kinerja CWs berdasarkan bentuk reaktor dengan menggunakan tanaman air yang sama dalam menurunkan kadar polutan disajikan pada Tabel 3 dan 4.


Dengan perbedaan bentuk reaktor sebagaimana disajikan pada Tabel 3 dan 4, menunjukkan bahwa reactor berbentuk empat persegi panjang memiliki kinerja yang lebih baik dalam menurunkan COD dan LAS. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa Cattail memiliki kinerja yang baik dalam menurunkan beban pencemar dalam bentuk COD dan TSS, untuk waktu tinggal 1 hari dan 3 hari. Dari kedua penelitian tersebut belum nampak kinerja optimal Constructed Wetlands pada  waktu tinggal  berapa  hari.     Penelitian        lain dilakukan di Kota Nakuru Kenya, untuk mengolah limbah cair domestik (grey water) ditampilkan pada Tabel 5.
Kinerja Constucted Wetland dengan ukuran 2 x 1 m2 dan kedalaman 0.86 m yang didahului   dengan   proses   pre   treatment,   dan waktu tinggal 2 hari menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan kinerja reaktor dari penelitian   lain (Raude et al. (2009). Constructed Wetland ini menggunakan rumput Vetiveria zizonioides (akar wangi). Kemampuan CWs dengan waktu tinggal 2 hari mampu menurunkan kadar TSS sebesar 97% dan BOD5 99,7%, menggunakan CWs dua tahap dengan menggunakan tanaman Coix lacryma-jobi memberikan hasil penurunan BOD  sebesar 99.4%, penurunan kadar Coliformes sebesar 99.9% (Dallas, 2006). Dengan demikian penggunaan rumput Vertiveria zizonioides memberikan hasil yang baik dalam mereduksi kadar BOD5, namun kurang dalam menurunkan kadar coliformes. Dari hasil tersebut, maka pemilihan jenis tanaman akan menunjang kinerja CWs bila mempertimbangkan jenis limbah yang akan diolah.
Teknologi Constructed Wetlands dapat diterapkan untuk daerah perkotaan yang tidak terjangkau fasilitas pengolah limbah rumah tangga secara terpusat, atau tidak memiliki sarana pengolah limbah terpusat. Untuk sistim perkotaan di Indonesia, di mana perencanaan sering berubah, bahkan kadang tidak integrated, maka penerapan teknologi akan lebih ekonomis untuk sistim desentralisasi dibandingkan dengan sistim sentral. Karena untuk  pembangunan sarana pengolah limbah sentral akan memakan biaya besar dalam jaringan perpipaan. Constructed Wetlands bisa diterapkan pada sebuah perumahan dengan sistim cluster, dimana CWs dibangun secara komunal.
2.5 Taman Tanaman Air sebagai pengolah limbah domestik
Dari uraian di atas dikemukakan bahwa Constructed Wetlands dapat digunakan untuk pengolahan air limbah secara biologis dengan memanfaatkan kemampuan tanaman untuk menurunkan kadar polutan. Kemampuan masing- masing jenis tanaman dalam menurunkan kadar polutan tidak sama. Kinerja CW lebih efektif dalam menurunkan polutan jika menggunakan beberapa jenis tanaman dibandingkan jika hanya menggunakan satu jenis tanaman (Frase, Carty dan Steer, 2003; Karahanasis, Potter dan Coyne, 2003). Hasil ringkasan dari 22 arikel yang dilakukan Vymazal (2011) membandingkan efisiensi pengolahan pada CW dengan tanaman dan tanpa tanaman yang menyimpulkan bahwa 20 (90%) memberikan pengaruh positif dengan beberapa tanaman pada beberapa parameter kualitas air. Kinerja CWs selain dipengaruhi oleh kemampuan tanaman juga dipengaruhi oleh media tanaman, baik jenis maupun ukuranya, serta dimensi CW itu sendiri berkenaan dengan waktu tinggal limbah.
Dalam perencanaan peletakan atau pemilihan lokasi CWs juga akan mempengaruhi pemilihan jenis tanaman. Untuk lokasi yang banyak terpaan sinar matahari (panas), maka juga harus dipilih tanaman yang hidup di daerah yang cukup sinar matahari. Sebagai misal Vetiveria zizonioides, Typha angustifolia,  Canna Sp dll. (Raude et al., 2009; Mukhlis, 2003; dan Suswati, 2010; Vymazal, 2011). Sementara untuk lokasi teduh bisa dipakai tanaman Irish pseuadacocus, Spathiphylun sp, Philodendron sp. dll. (Karahanasis, Potter dan Coyne, 2003; Weissenbacher dan Mullegger, 2009). Bahkan Spathiphylun sp dan Philodendron sp.dapat diterapkan untuk CWs di dalam ruangan (indoor) (Weissenbacher dan Mullegger, 2009).
Pertimbangan-pertimbangan perencanaan CWs (Greg, Young dan Brown, 1998) adalah:
(1) Multi tujuan, tidak hanya isu tradisional untuk drainasi dan kualitas air
(2) melibatkan komunitas masyarakat
(3) dilengkapi dengan program penyadaran masyarakat
(4) adanya ketersediaan lahan cukup luas
Dengan pertimbangan estetika dan lokasi CWs, maka bisa dipilih jenis tanaman yang sesuai dan memiliki nilai estetika. Dan berdasarkan salah satu pertimbangan pembangunan CWs adanya ketersediaan lahan cukup luas, maka menjadi sebuah tantangan di Indonesia (dimana CWs belum begitu populer) untuk mensosialisasikan teknologi ini. Karena ketersediaan lahan dilingkungan permukiman di Indonesia saat ini sudah sangat terbatas. Bahkan tidak sedikit rumah yang berada di perumahan sudah tidak memiliki halaman sama sekali. Kondisi inilah yang perlu dipecahkan dalam upaya menanggulangi atau mengurangi beban pencemaran sumber air permukaan atau sungai dan upaya konservasi air. Untuk mengatasi keterbatasan tersebut, dapat dilakukan dengan modifikasi sistim di dalam CWs. Salah satunya adalah modifikasi pola aliran. Untuk menambah nilai estetika CWs yang dibangun secara individual di rumah-rumah, atau dibangun secara komunal di lingkungan permukiman menggunakan jenis tanaman yang memiliki kemampuan mengolah limbah sekaligus memiliki nilai estetika. Sehingga CWs yang dibangun dapat menjadi sebuah Taman Tanaman Air.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
            Constructed Wetlands adalah salah satu rekayasa sistem pengolah limbah yang  dirancang dan dibangun dengan melibatkan tanaman air, tanah atau media lain, dan kumpulan mikroba terkait. Pengolahan limbah dengan cara terbaru ini bisa sekaligus menjadi sebuah taman dengan berbagai macam pepohonan tertentu. Horizontal Subsurface Flow Constructed Wetlands (hSSF CWs) merupakan teknologi yang sesuai untuk diterapkan di daerah perkotaan yang tidak terjangkau fasilitas pengolah limbah terpusat.Dengan pemilihan media dan kombinasi penggunaan media dapat meningkatkan kinerja CWs dalam menurunkan kadar polutan. Sementara pemilihan jenis tanaman dilakukan untuk menyesuaikan dengan lokasi Constructed Wetlands berkenaan dengan paparan sinar matahari dan berdasarkan pertimbangan estetika. Secara ekonomi pembangunan CWs sangat efisien, khususnya dalam hal operasional.Karena biaya operasional hanya dibutuhkan jika memerlukan pompa. Apabila sistim pengaliran bisa dilakukan secara gravitasi, maka tidak diperlukan biaya operasional. Pembangunan Constructed Wetlands secara komunal akan lebih hemat dibandingkan pembangunan secara individual. Di Indonesia khususnya kota-kota besar seperti jakarta sangat cocok di buat pengolahan limbah dengan cara ini, Semoga cara ini bisa di teliti lebih lanjut oleh orang-orang yang tepat untuk di terapkan.









DAFTAR PUSTAKA

http://igtj.ub.ac.id/index.php/igtj/article/view/117

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "PENGOLAHAN LIMBAH DOMESTIK DENGAN TEKNOLOGI TAMAN TANAMAN AIR (Constructed Wetlands)"

Post a Comment